Detak Jantung yang Selaras

Mentari pagi masih malu-malu mengintip di balik deretan gedung pencakar langit Jakarta, namun bagi Arga dan Laras, hari sudah dimulai dengan riuh rendah khas ibu kota. Arga, dengan rutinitasnya sebagai chef muda di sebuah restoran ternama, selalu disibukkan dengan racikan bumbu dan aroma masakan. Laras, sang arsitek yang penuh ide, tenggelam dalam sketsa dan maket proyek ambisiusnya. Mereka adalah pasangan modern yang dinamis, penuh semangat, dan seringkali… sibuk.
Suatu malam, setelah seharian berjibaku dengan kesibukan masing-masing, mereka duduk di sofa apartemen, hanya ditemani cahaya temaram dari lampu baca. Keheningan yang ada bukan karena canggung, melainkan kelelahan yang memuncak.
"Capek banget, Ras," keluh Arga, menyandarkan kepalanya di bahu Laras.
Laras membelai rambut Arga lembut. "Aku juga, Ga. Rasanya hari ini kepala mau pecah."
Namun, di tengah kelelahan itu, ada percikan ide yang tiba-tiba melintas di benak Arga. "Bagaimana kalau kita escape? Sejenak saja, dari semua ini."
Laras mengangkat kepalanya, matanya berbinar. "Ke mana?"
"Rahasia," Arga tersenyum misterius. "Pokoknya, siapkan saja baju seperlunya. Aku yang urus sisanya."
Dua hari kemudian, Laras menemukan dirinya duduk di samping Arga dalam sebuah mobil yang melaju membelah jalanan pedesaan yang sejuk. Pohon-pohon menjulang tinggi di kiri kanan, dan udara bersih mengisi paru-paru. Tujuan mereka? Sebuah gubuk kayu kecil di kaki Gunung Salak, jauh dari hiruk pikuk kota.
Gubuk itu sederhana, namun hangat. Ada tungku perapian kecil, jendela besar menghadap hutan pinus, dan suara gemericik sungai yang menenangkan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arga dan Laras merasa benar-benar terputus dari dunia luar. Tidak ada deadline, tidak ada telepon yang berdering, hanya mereka berdua.
"Ini… sempurna, Ga," Laras memeluk Arga erat.
Mereka menghabiskan hari-hari itu dengan hal-hal sederhana namun penuh makna. Arga memasak hidangan lezat dari bahan-bahan lokal, menciptakan aroma yang belum pernah tercium di dapurnya yang sibuk. Laras, yang biasanya terpaku pada layar komputer, kini asyik dengan sketsa alam, menangkap keindahan setiap daun dan ranting. Mereka berjalan-jalan di hutan, menertawakan hal-hal kecil, dan berbagi cerita yang sudah lama terpendam.
Suatu sore, hujan turun dengan lebat, membuat mereka terperangkap di dalam gubuk. Arga menyalakan api di tungku, dan mereka duduk berdekatan, ditemani secangkir teh hangat.
"Ingat, dulu waktu kita pertama kali ketemu?" tanya Arga, matanya menerawang. "Aku cuma kenal kamu sebagai teman Laras, adikku. Lalu, tiba-tiba kamu berubah jadi... Laras-ku."
Laras tersenyum. "Kamu juga, dulu cuma Arga, si abang cerewet yang selalu minta dibikinin masakan. Sekarang, kamu chef terbaikku, dan partner hidupku."
Hening sejenak. Hanya suara gemuruh hujan yang terdengar.
"Aku takut, Ga," Laras berbisik, suaranya sedikit bergetar. "Takut kalau kesibukan ini membuat kita menjauh. Kita jadi jarang punya waktu seperti ini."
Arga menoleh, menatap mata Laras dalam-dalam. "Aku juga merasakan hal yang sama, Ras. Tapi justru itu, kita harus lebih sering menemukan momen seperti ini. Momen di mana kita berhenti sejenak, dan hanya fokus pada kita."
Ia menggenggam tangan Laras erat. "Pekerjaan itu penting, impian itu penting. Tapi detak jantung kita yang selaras, itu yang paling penting. Kita harus selalu menemukan cara untuk membuat detak jantung itu tetap berirama."
Kepulangan mereka ke Jakarta tidak menghilangkan kenangan di gubuk kayu itu. Justru sebaliknya, pengalaman itu menumbuhkan kesadaran baru. Arga dan Laras tidak berhenti berkarya, namun mereka belajar untuk lebih menghargai waktu bersama. Mereka mulai meluangkan malam khusus tanpa gadget, memasak bersama, atau sekadar berbagi cerita tentang hari yang telah berlalu. Mereka juga berjanji untuk sesekali kembali ke gubuk itu, tempat di mana mereka diingatkan bahwa di tengah kesibukan dunia, cinta mereka adalah melodi yang harus selalu dijaga agar detak jantung mereka tetap selaras.
Komentar
Posting Komentar